Aghnia Maurizka Prameswari
02 September, 2022
Seorang pelaku yang bekerja sama (justice collaborator) merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan.
Perkembangan ide justice collaborator sebenarnya bertitik tolak dari ketentuan Pasal 37 ayat (2) United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) Tahun 2003 yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003) dimana ditegaskan bahwa,
“Each State Party shall consider providing for the possibility, in appropriate cases, of mitigating punishment of an accused person who provides substantial cooperation in the investigation or prosecution of an offence established in accordance with this Convention”
(Setiap negara peserta wajib mempertimbangkan kemungkinan, dalam kasus-kasus tertentu, mengurangi hukuman dari seorang pelaku yang memberikan kerja sama substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu kejahatan yang ditetapkan berdasarkan Konvensi ini)
Kemudian dalam Pasal 37 ayat (3) UNCAC dikemukakan bahwa,
“Each State Party shall consider providing for the possibility, in accordance with fundamental principles of its domestic law, of granting immunity from prosecution to a person who provides substantial cooperation in the investigation or prosecution of an offence established in accordance with this Convention”
(Setip negara peserta wajib mempertimbangkan kemungkinan, sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya untuk memberikan kekebalan dari penuntutan bagi orang yang memberikan kerja sama substansial dalam penyelidikan atau penuntutan (justice collaborator) suatu tindak pidana yang ditetapkan berdasarkan Konvensi ini)
Dalam tindakan kejahatan serius yang terorganisir seringkali terkendala dalam proses pengungkapan kejahatannya oleh karena para pelaku yang saling merahasiakan dan telah menyiapkan alibi untuk menutupi tindak kejahatannya. Adanya konsep justice collaborator dapat mempermudah beban aparat penegak hukum karena berperan besar untuk mengungkapkan suatu kejahatan yang terorganisir seperti Tindak Pidana Korupsi, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang, maupun tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisir. Kejahatan-kejahatan tersebut tidak pernah dilakukan secara individu, tetapi secara kolektif, keberadaan ketentuan yang mengatur mengenai justice collaborator merupakan instrumen hukum yang diharapkan dapat memperkuat pengumpulan alat bukti dan alat bukti nyata di persidangan.
Oleh karena Indonesia telah meratifaksi konvensi tersebut dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang pengesahan United Nations Conventions Against Corruption, Indonesia wajib memberikan perlidungan dan pengurangan hukuman bahkan kekebalan hukum kepada justice collaborator sebagaimana hasil konvensi internasional tersebut.
Justice Collaborator atau Saksi Pelaku sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban (UU No. 31 Tahun 2014) dapat diberikan mendapat berbagai perlindungan hukum. Bentuk dari perlindungan hukum tersebut ialah:
1. Tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik (Pasal 10 UU No. 31 Tahun 2014)
2. Saksi Pelaku dapat diberikan penanganan secara khusus dalam proses pemeriksaan dan penghargaan atas kesaksian yang diberikan. (Pasal 10 A UU No. 31 Tahun 2014)
3. Dalam hal tindak pidana yang dilaporkan atau diungkap oleh Saksi Pelaku dalam pemeriksaan di sidang pengadilan tidak terbukti, tidak menyebabkan batalnya Perlindungan bagi Saksi Pelaku tersebut. (Pasal 32A UU No. 31 Tahun 2014)
Penanganan secara khusus sebagaimana dimaksud pada poin ke-2 berupa:
a. Pemisahan tempat penahanan atau tempat menjalani pidana antara Saksi Pelaku dengan tersangka, terdakwa, dan/atau narapidana yang diungkap tindak pidananya.
b. Pemisahan pemberkasan antara berkas Saksi Pelaku dengan berkas tersangka dan terdakwa dalam proses penyidikan, dan penuntutan atas tindak pidana yang diungkapkannya.
c. Memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa berhadapan langsung dengan terdakwa yang diungkap tindak pidananya.
Penghargaan atas kesaksian sebagaimana dimaksud pada poin ke -2 berupa:
a. Keringanan penjatuhan pidana (dengan surat rekomendasi dari LPSK secara tertulis kepada penuntut umum untuk dimuat dalam tuntutannya kepada hakim).
b. Pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi saksi pelaku yang berstatus narapidana (dengan surat rekomendasi oleh LPSK secara tertulis kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum).
Berdasarkan ketentuan di atas Justice Collaborator dapat diberikan penanganan secara khusus dalam proses pemeriksaan dan penghargaan atas kesaksian yang diberikan sebagaimana telah diatur dalam UU No. 31 Tahun 2014.