Indonesia hingga saat ini tidak melegalkan tindakan aborsi. Hukum positif di Indonesia secara terang-terangan melarang tindakan menggugurkan atau menyuruh orang lain menggugurkan kehamilan yang dikenakan untuk setiap orang sebagaimana tercantum pada KUHP Pasal 346 yang menyatakan ‘Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun’ dan pada Pasal 348 KUHP
‘Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan’.
Pada kenyataannya, ternyata tindakan aborsi tidak semata-mata hanya untuk tindakan ilegal saja, melainkan tenaga medis dalam keadaan tertentu perlu melakukan pengguguran kehamilan oleh berbagai sebab demi kesehatan pasien dan banyak korban perkosaan yang tidak menginginkan kehamilan tersebut karena dapat menimbulkan trauma yang cukup berat. Namun, Berdasarkan aturan diatas tidak ada perlindungan hukum bagi tenaga medis yang maupun korban perkosaan yang membutuhkan tindakan aborsi. Saat ini pemerintah sedang merancang KUHP yang baru, namun pada draf RKUHP September 2019 baru hanya memberikan perlindungan hukum kepada tenaga medis, tercantum pada Pasal 471 RKUHP: ‘Dokter yang melakukan pengguguran kandungan karena indikasi kedaruratan medis atau terhadap Korban perkosaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, tidak dipidana.’Berdasarkan aturan diatas pengecualian pemidanaan hanya berlaku pada dokter yang melakukan pengguguran kandungan, namun perempuan yang melakukan atau meminta aborsi tetap mendapatkan ancaman pidana.
Maka dalam hal ini, kita perlu merujuk pada asas Lex Spesialis derogate Legi Generalis sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan Pasal 63 ayat (2) KUHP yang menyatakan ‘Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan’, dimana UU Kesehatan sebagai lex specialis yang mengesampingkan KUHP sebagai lex generalis. Pada UU Kesehatan terdapat pengecualian untuk situasi tertentu yang memperbolehkan aborsi.
Pada pasal 75 ayat (2) UU Kesehatan menyatakan larangan aborsi dapat dikecualikan berdasarkan:
a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau
b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan
Pasal 76 UU Kesehatan juga menjelaskan batasan-batasan diperbolehkannya aborsi. Aborsi hanya dapat dilakukan:
a. sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis;
b. oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;
c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan
e. penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri.
Dengan aturan pada UU Kesehatan ini, perempuan yang melakukan aborsi baru mendapatkan perlindungan hukum. Alangkah baiknya RKUHP juga memberikan perlindungan hukum kepada perempuan sehingga tidak bertentangan dengan hukum positif di Indonesia dan tidak ada celah kesalahan yang dapat mempidanakan korban perkosaan yang melakukan pengguguran kehamilan.